Mengapa selalu tentang harapan.
Mengaung-ngaung dalam arus ombak yang sama. terhanyut,terseret dan tenggelam lipatan hempasannya. Padahal, cukup mengangkat satu langkah kai untuk melampaui garis pantai yang teramat aman untuk bersantai dan merasakan lembut elusan sang angin.
Mengapa selalu tentang Menanti.
Mengurung diri dalam ruangan kumuh yang terlihat hampir rubuh, ditemani serangga yang berlantun riuh, suasananya seperti subuh namun tak terdapat udara yang menyegarkan tubuh. Padahal, cukup berdiri keluar menyaksikan langit biru terdapat surya terang dan lega menyaksikan hiasan ciptaan Tuhan.
Mengapa selalu tentang Perasaan terdiam.
Bukankah itu membosankan, selalu tentang penantian-penantian yang sampai saat larut malam ini tak ada tanda-tanda ia akan datang dan terlebih menyakitkan ia sibuk dengan keindahan yang telah ia rajutkan dengan yang lainnya.
Mengapa?
Karena Perasaan terdiam membiri berjuta kekuatan dan pembelajaran untuk menanti seseorang yang terpendam, meski pada akhirnya belum diketahui apakah ia berlabuh kehati pelaku perasaan terdiam menghadirkan kebahagian atau terpeleset kedalam jurang penuh duri penyiksaan, namun dengan penuh kekuatan, pelaku perasaan terdiam tetap bersikukuh menegakkan kesetiaan.
"Perasaan terdiam membuat pelakunya menghargai arti kesetiaan"